Rabu, 05 Oktober 2022

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

 

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

Oleh : Masnun Tholab

 

Hukum Zakat Fitrah

Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa Zakat Fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan disebabkan berakhirnya puasa Ramadhan. Hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik kecil atau dewasa, laki-laki atau wanita, dan budak atau merdeka.

Dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu,

عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: { فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ

Rasulullah صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mewajibkan zakat fitrah dari Ramadhan sebanyak satu sukat korma atau satu sukat kepada hamba dan orang-orang merdeka, laki-laki dan wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan kaum muslimin dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan sholat.” (Muttafaq Alaihi)

 

Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah

Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahwa pihak yang berhak menerima zakat fitrah itu sama halnya dengan yang boleh menerima zakat, artinya fitrah itu hendaklah dibagikan kepada delapan golongan yang tersebut di dalam ayat,

إنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنَ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْ بُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ واللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah 9 : 60).

Berdasarkan ayat di atas, yang berhak menerima zakat fitrah adalah :

  1. Fakir
  2. Miskin
  3. Amil (Panitia Zakat)
  4. Muallaf (golongan yang baru masuk islam, atau orang islam yang lemah imannya).
  5. Budak
  6. Gharim (Orang yang berhutang)
  7. Fi Sabilillah (Orang yang berjihad di medan perang).
  8. Musafir (Orang yang melakukan perjalanan bukan untuk maksiat).

 

Fakir miskin merupakan golongan yang lebih utama menerimanya berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Rhadiallaahu ‘anhu, dia  berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اَلْفِطْرِ; طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اَللَّغْوِ, وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

 Rasulullah صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin”.

Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Rhadiallaahu ‘anhu,

فرض رسول الله صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زكاة الفطر وقال: " أغنوهم في هذا اليوم "

Rasulullah صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mewajibkan zakat fitrah, sabda beliau, ‘Penuhilah kebutuhan mereka pada hari ini!’” [Fiqih Sunnah 2, hal. 4]

 

 

Ibnu Abbas Rhadiallaahu ‘anhu berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ اَلْفِطْرِ; طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اَللَّغْوِ, وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ, فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ, وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ اَلصَّدَقَاتِ.

“Rasulullah صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang puasa dari perbuatan dan perkataan kosong dan keji, serta untuk memberi makan orang-orang miskin Siapa yang membayarnya sebelum shalat, maka itu menjadi zakat, namun siapa yang membayarnya sesudah salat, maka itu menjadi sedekah diantara bermacam-macam jenis sedekah” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah , dan Hakim menyatakan shahih).

 

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :

وَفِي قَوْلِهِ " طُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِدَلِيلٌ عَلَى اخْتِصَاصِهِمْ بِهَا وَإِلَيْهِ ذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْآلِ وَذَهَبَ آخَرُونَ إلَى أَنَّهَا كَالزَّكَاةِ تُصْرَفُ فِي الثَّمَانِيَةِ الْأَصْنَافِ

Sabda beliau  untuk memberi makan kepada orang-orang miskin’ menunjukkan bahwa zakat fitrah hanya dikhususkan untuk mereka saja, inilah orang dari Al-Aal.  Sedangkan ulama yang lainnya berpendapat bahwa zakat fitrah seperti zakat yang lainnya, ia dibagikan kepada delapan golongan tersebut. [Subulussalam 2, hal. 65].

 

Apakah Zakat Wajib Diberikan Kepada Semua Golongan Penerima Zakat?

Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan :

وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي هَذِهِ الْأَصْنَافِ الثَّمَانِيَةِ هَلْ يَجِبُ استيعاب الدفع لها أَوْ إِلَى مَا أَمْكَنَ مِنْهَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ ,أَحَدُهُمَا, أَنَّهُ يَجِبُ ذَلِكَ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَجَمَاعَةٍ.

Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan delapan golongan ini, apakah pembagian harta zakat harus diberikan kepada delapan golongan itu secara penuh, ataukah hanya kepada yang ada saja di antara kedelapan golongan itu? Ada dua pendapat mengenainya.

Pendapat pertama mengatakan bahwa harta zakat harus dibagikan kepada semua golongan yang delapan itu. Pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii dan sejumlah ulama.

وَالثَّانِي, أَنَّهُ لَا يَجِبُ اسْتِيعَابُهَا بَلْ يَجُوزُ الدَّفْعُ إِلَى وَاحِدٍ مِنْهَا وَيُعْطَى جَمِيعَ الصَّدَقَةِ مَعَ وُجُودِ الْبَاقِينَ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَجَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ مِنْهُمْ عُمَرُ وَحُذَيْفَةُ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو الْعَالِيَةِ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَمَيْمُونُ بْنُ مِهْرَانَ، 

Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib membagikan harta zakat kepada semua golongan yang delapan itu, melainkan boleh diberi­kan kepada satu golongan saja di antara mereka. Semua harta zakat boleh diberikan kepadanya, sekalipun golongan yang lain ada. Pen­dapat ini dikatakan oleh Imam Malik dan sejumlah ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, antara lain ialah Umar, Huzaifah, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Sa'id ibnu Jubair dan Maimun ibnu Mahran.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍوَهُوَ قول جماعة عامة من أَهْلِ الْعِلْمِ، وَعَلَى هَذَا فَإِنَّمَا ذَكَرْتُ الْأَصْنَافَ هَاهُنَا لِبَيَانِ الْمَصْرَفِ لَا لِوُجُوبِ اسْتِيعَابِ الْإِعْطَاءِ

Ibnu Jarir memberikan komentarnya, bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh kebanyakan ahlul 'ilmi. Dengan demikian, penyebutan kedelapan golongan dalam ayat ini hanyalah semata-mata untuk menerangkan pengalokasiannya saja, bukan wajib memenuhi kesemuanya. 

[Tafsir Ibnu Katsir, surat At-Taubah ayat 60].

Wallahu a’lam.

 

 

 

 

 

Selasa, 04 Oktober 2022

MEMBACA FATIHAH DALAM SHALAT BERJAMA’AH

 

MEMBACA FATIHAH DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Oleh : Masnun Tholab

 

DALIL-DALIL

Allah Ta’ala berfirman :

وَإِذَا قُرِئَ ٱلْقُرْءَانُ فَٱسْتَمِعُوا۟ لَهُۥ وَأَنصِتُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf Ayat 204)

 

Dari Ubadah bin Shamit, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak (sah) shalat bagi seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al-Fatihah)." (HR.Bukhari, Azan/714; Tirmidzi 247)

 

Dari Abu Hurairah RA :

أن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم انصرف مِنْ صَلَاةٍ جَهَرَ فِيْهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ "هَلْ قَرَأَ مَعِيْ أَحَدٌ مِنْكُمْ آنِفاً"؟ فَقَالَ رَجُلٌ: نَعَمْ يارسول اللّه، قال: "إِنِّي أَقُوْلَ مَا لِيْ أُنَازِعُ الْقُرْآنَ"؟ قال: فَانْتَهَى النَّاسَ عَنِ الْقِرَاءَةِ مَعَ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم فِيْمَا جَهَرَ فِيْهِ النبي صلى الله عليه وسلم بالْقِرَاءَةِ مِنَ الصَّلَوَاتِ حِيْنَ سَمِعُوْا ذَلِكَ مِنْ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم

Sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم sesudah mendirikan sholat yang beliau keraskan bacaanya dalam sholat itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada sholat-sholat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi صلى الله عليه وسلم. (HR. Abu Dawud 826, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).

 

Dari Jabir, dari Nabi صلى الله عليه وسلم  :

مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامً فَقَرَاءَةُ الْإِمَامَ لَهُ قَرَاءَ ةٌ

"Siapa mengikuti imam (dalam shalat), maka bacaan imam adalah bacaan baginya." (HR. Ibnu Majah, Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan : Hadits tersebut adalah hadits mursal (terputus), sehingga ia tidak bisa digunakan sebagi dalil. [Subulussalam 1, hal. 455]

 

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

إِذَ ا كَبَّرَ الْإِمَامُ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا ".

"Apabila imam bertakbir, bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)…"(HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

 

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

وَإِذَا قَرَأَالْإِمَامُ فَأَنْصِتُوا

 “Kalau (imam) membaca, maka kalian hendaknya diam”. (HR. Ahmad, Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan : Hadits tersebut adalah shahih)

 

 

 

Dari Ubadah bin Shamit :

صَلَّى بِنَا رسول الله صَلَاةَ الْغَدَاةِ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَاءَةُ. فَلَمَّا انْصَرَفَ قال: إِنِّي لِأَرَاكُمْ تَقْرَءُوْنَ وَرَاءَ الْإِمَامِ، قُلْنَا: نَعَمْ، قَالَ: فَلَا تَفْعَلُوْا إِلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ

 “Kami pernah melakukan sholat bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada sholat Shubuh. Beliau merasa berat untuk membaca (Alqur’an/Al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai sholat), beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kaum sekalian (mengetahuimu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian?’.Kami menjawab; ‘Ya’. Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda; ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (Al-Fatihah)”.  (HR. Ahmad , Abu Dawud ,Tirmidzi ).

 

PENJELASAN/PENDAPAT ULAMA

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam mengatakan :

ثُمَّ ظَاهِرُ الْحَدِيثِ وُجُوبُ قِرَاءَتِهَا فِي سِرِّيَّةٍ وَجَهْرِيَّةٍ لِلْمُنْفَرِدِ وَالْمُؤْتَمِّ. أَمَّا الْمُنْفَرِدُ فَظَاهِرٌ، وَأَمَّا الْمُؤْتَمُّ فَدُخُولُهُ فِي ذَلِكَ وَاضِحٌ

Secara zhahir, hadits tersebut (Hadits Ubadah bin Shamit ) menjelaskan bahwa surat tersebut dibaca baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah. Baik untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian maupun sebagai makmum. Karena zhahir hadits ini menjelaskan hokum untuk orang yang mengerjakan shalat sendirian. Sedangkan seorang makmum tidak diragukan bahwa ia termsuk dalam hukum ini. [Subulussalam (1/454)]

 

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :

Di dalam menjamak beberapa hadits di atas, kalangan fuqaha saling berbeda. Terdapat fuqaha yang mengecualikan bacaan al-Fatihah dari seluruh bacaan dalam shalat ketika imam membaca dengan jahr (keras). Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas. Di lain pihak, ada fuqaha  yang berpendirian bahwa yang dikecualikan adalah bacaan makmum ketika imam membaca dengan keras, karena adanya larangan yang tersebut di dalam hadits Abu Hurairah di atas.

[Bidayatul Mujtahid 1, hal. 349]

 

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :

Pada asalnya shalat itu tidak sah kecuali dengan membaca surah Al-Fatihah pada setiap rekaat shalat fardhu maupun shalat sunnah sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan fardhu-fardhu shalat. Akan tetapi kewajiban membaca bagi makmum digugurkan ketika mengerjakan shalat-shalat yang mesti dikeraskan suaranya dan ia wajib diam dan mendengarkan bacaan imam.

[Fiqih Sunnah 1/223-224]

 

Syaikh Imam Al-Qurtubhi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi berkata :

وَكَانَ الشَّافِعِيُّ بِالْعِرَاقِ يَقُولُ فِي الْمَأْمُومِ: يَقْرَأُ إِذَا أَسَرَّ وَلَا يَقْرَأُ إِذَا جَهَرَ، كَمَشْهُورِ مَذْهَبِ مَالِكٍ. وَقَالَ بِمِصْرَ: فِيمَا يَجْهَرُ فِيهِ الْإِمَامُ بِالْقِرَاءَةِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا أَنْ يَقْرَأَ وَالْآخَرُ يُجْزِئُهُ أَلَّا يَقْرَأَ وَيَكْتَفِيَ بِقِرَاءَةِ الْإِمَامِ

Saat berada di Irak, Asy-Syafi’i pernah berkata tentang seorang makmum, “Makmum harus membaca Al-Fatihah jika imam tidak mengeraskan bacaannya. Tapi dia tidak wajib membacanya jika imam mengeraskan bacaannya”. Pendapat ini persis seperti pendapat yang masyhur dalam madzhab Malik. Sementara di Mesir, Asy-Syafi’i berkata, “Untuk shalat dimana imam mengeraskan bacaannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat : Pertama, makmum harus membaca Al-Fatihah. Kedua, akan dianggap cukup baginya jika dia tidak membaca surah Al-Fatihah dan hanya mengandalkan bacaan imam. [Tafsir Al-Qurthubi 1, hal. 304]

 

 

 

 

 

Kapan Makmum Membaca Fatihah?

Imam Nawawi, ulama madzhab Syafi’I, dalam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :

وَإِذَا قُلْنَا يَقْرَأُ الْمَأْمُومُ فِي الْجَهْرِيَّةِ، فَلَا يَجْهَرُ بِحَيْثُ يَغْلِبُ جَهْرُهُ، بَلْ يُسِرُّ بِحَيْثُ يُسْمِعُ نَفْسَهُ لَوْ كَانَ سَمِيعًا، فَإِنَّ هَذَا أَدْنَى الْقِرَاءَةِ، وَيُسْتَحَبُّ لِلْإِمَامِ عَلَى هَذَا الْقَوْلِ: أَنْ يَسْكُتَ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ قَدْرَ قِرَاءَةِ الْمَأْمُومِ لَهَا

Jika kita katakan, “Makmum harus membaca Al-Fatihah dalam shalat yang dibaca dengan suara keras, dan hendaklah dia tidak mengangkat suara melebihi suara imam, akan tetapi hendaklah dia membacanya dengan sirr (pelan) sehingga hanya didengar oleh dirinya sendiri jika dia dapat mendengar. Inilah standar minimal surah Al-Fatihah. Berdasarkan pendapat ini, maka seorang imam dianjurkan untuk diam setelah membaca Al-Fatihah yang lamanya sekitar selesainya makmum membaca Al-Fatihah” [Raudhatuth Thalibin 1/221 (1/513)].

 

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, ulama madzhab Syafi’i, dalam kitab Fat-hul Mu’in berkata :

يسنُّ للامامُ أن يسكتَ في الجهريةِ بقدرِ قراءةِ المأمومِ الفاتحةِ - إن علم أنه يقرؤَها في سكتةٍ - كما هو ظاهرٌ، وأن يشتغِلَ في هذه السكتةِ بدعاءٍ أو قراءةٍ، وهي أولىَ

Pada shalat jahriyah imam disunatkan berdiam sebentar (jangan cepat-cepat membaca surat), seukuran makmum membaca Fatihah. Bila ia mengetahui makmum membaca Fatihah ketika ia diam itu, hendaknya ia menyibukkan diri dengan membaca do’a atau membaca Quran. Hal itu lebih utama.

[Fat-hul Mu’in 1/80 (1/181)]

 

Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan dalam kitab Fiqih Sunnah :

Jika ada orang yang bertanya, sebenarnya makmum dibolehkan membaca Al-Quran, yaitu sewaktu imam itu berhenti sejenak. Jawabnya adalah berhenti bukanlah suatu keharusan bagi imam. Lantas bagaimanakah caranya melakukan atau memaksakan sesuatu yang fardhu ke dalam perkara yang tidak fardhu, apalagi pada waktu mengerjakan shalat yang harus menyarungkan suara bacaan? Sebenarnya, kita sebagai makmum mempunyai kesempatan untuk membaca ayat Al-Quran dengan cara lain, yaitu membacanya dalam hati, seperti merenung dan memikirkan maknanya.

[Fiqih Sunnah 1/223-224]

 

Wallahu a’lam.

 

HUKUM MEMBACA AL-QURAN DENGAN SUARA KERAS

 

HUKUM MEMBACA AL-QURAN DENGAN SUARA KERAS

Oleh : Masnun Tholab

 

DALIL-DALIL

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, beliau bersabda,

ما أذن الله لشيء ما أذن لنبي حسنِ الصوت يَتَغَنَّى بالقرأن, يجهربه

“Tidaklah Allah berkenan mendengarkan sesuatu seperti Dia mendengar nabiNya yang membaguskan suaranya ketika membaca Al-Qur’an sambil melagukannya, kemudian ia mengeraskan bacaannya tersebut” (HR. Muslim no. 1844; An-Nasa’I no. 1017)

 

Dari Aisyah RA, dia berkata,

 ان النبي صلى الله عليه وسلم سمع رجلا يقرأ من الليل فقال يَرْحَمُهُ اللهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِي كَذَا وَكَذَا آيَةً كنت أسقطتها من سورة كذا وكذا

“Bahwasanya Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah mendengar seseorang membaca Al-Qur’an di malam hari, lalu beliau bersabda : ‘Semoga Allah merahmatinya. Sungguh, ia mengingatkanku dengan ayat ini dan itu, ayat yang telah luput dariku di surat ini dan surat itu’” (HR. Bukhari no. 5038; Muslim no. 1834)

 

Imam An-Nawawi  berkata mengomentari hadits di atas:

فِي هَذِهِ الْأَلْفَاظِ فَوَائِدُ مِنْهَا جَوَازُ رَفْعِ الصَّوْتِ بِالْقِرَاءَةِ فِي اللَّيْلِ وَفِي الْمَسْجِدِ وَلَا كَرَاهَةَ فِيهِ إِذَا لَمْ يُؤْذِ أَحَدًا وَلَا تَعَرَّضَ لِلرِّيَاءِ وَالْإِعْجَابِ وَنَحْوِ ذَلِكَ

“Dari lafazh-lafazh hadits tadi terdapat beberapa faidah di antaranya bolehnya mengeraskan suara dalam membaca Al-Quran di malam hari dan di masjid. Dan itu tidak makruh jika tidak mengganggu orang lain dan tidak mengantarkan kepada riya, bangga dan semacamnya.

(Syarh Shahih Muslim 4/438)

 

firman Allah SWT:

اقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْواتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (لقمان: ١٩  

"Dan biasalah dalam berjalanmu (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat dan kurangilah volume suaramu (tidak memaksakan diri untuk terlalu keras, namun sesuai kebutuhannya). Sungguh suara yang paling diingkari (paling jelek) adalah suara keledai (yang terlalu keras)," (QS. Luqman ayat 19).  

Saat menjelaskan ayat ini pakar tafsir berdarah Cordova, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam tafsirnya mengatakan:

  لَا تَتَكَلَّفْ رَفْعَ الصَّوْتِ وَخُذْ مِنْهُ مَا تَحْتَاجُ إِلَيْهِ. فَإِنَّ الْجَهْرَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْحَاجَةِ تَكَلُّفٌ يُؤْذِي.  

 “Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan.”

 

Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, dia berkata,

اعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَسْجِدِ ، فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ ، فَكَشَفَ السِّتْرَ ، وَقَالَ : أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ ، فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ، وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ ، أَوْ قَالَ : فِي الصَّلاَةِ

Saat Nabi صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ber I’tikaf di masjid, beliau mendengar para sahabat beliau mengeraskan bacaan Al-Qur’an. Lalu beliau membuka kain penutup dan bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya setiap kalian bermunajat kepada Rabb-nya. Janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian kalian meninggikan suara bacaan atas sebagian yang lain” (HR. Abu Dawud no. 1332; Ibnu Khuzaimah no. 1100; Ahmad no. 12219)

 

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin menceritakan :

Sa’id bin Musayyab pada suatu malam di salam masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mendengar Umar bin Abdul Aziz RA membaca keras di dalam shalatnya dan ia bagus suaranya. Maka Sa’id berkata kepada budaknya, “Pergilah kepada orang yang sedang shalat itu, perintahkan agar ia merendahkan suaranya”. Maka budak itu berkata, “Masjid ini bukan milik kita, dan seseorang mempunyai bagian padanya”. Lalu Sa’id mengeraskan suaranya dan berkata,

يا أيها المصلي إن كنت تريد الله عز وجل بصلاتك فاخفض صوتك وإن كنت تريد الناس فإنهم لن يغنوا عنك من الله شيئاً

“Hai orang yang sedang shalat, jika kamu dengan shalatmu menghendaki Allah Azza wajalla, rendahkanlah suaramu. Dan jika kamu menghendaki manusia, maka sesungguhnya mereka itu tidak akan menjadikanmu kaya (tidak butuh) kepada Allah sedikitpun”

Maka Umar bin Abdul Aziz diam dan meringankan shalatnya. Ketika ia lelah, lalu membaca salam, kemudian ia mengambil sepasang sandalnya dan pergi. Pada waktu itu ia adalah gubernur di Madinah. [Ihya ‘Ulumiddin 2/273]

 

Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i ketika ditanya tentang hukum membaca al-Qur’an dengan suara keras, berkata :

وَالْجَهْرُ بِحَضْرَةِ نَحْوِ مُصَلٍّ أو نَائِمٍ مَكْرُوهٌ كما في الْمَجْمُوعِ وَغَيْرِهِ وَلَعَلَّهُ حَيْثُ لم يَشْتَدَّ الْأَذَى وَإِلَّا فَيَنْبَغِي تَحْرِيمُهُ

"Dan membaca dengan keras tatkala ada orang yang sholat atau sedang tidur maka hukumnya makruh –sebagaimana dalam kitab Al-Majmuu' dan kitab yang lainnya-. Hukum makruh ini mungkin jika gangguan (terhadap orang yang sholat dan tidur-pen) tidaklah parah, jika parah maka hukum membaca dengan keras adalah haram" [Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubro 1/157-158]

 

Sayyid Sabiq berkata :

يحرم رفع الصوت على وجه يشوش على المصلين ولو بقراءة القرآن. ويستثنى من ذلك درس العلم

Mengeraskan suara sehingga menyebabkan orang lain yang sedang shalat terganggu adalah diharamkan, meskipun yang dibaca itu al-quran, kecuali jika sedang mempelajari suatu ilmu.

[Fiqiih Sunnah 1/373].

 

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari Al-Fanani, dalam kitab Fathul Mu’in, ketika membahas tentang anjuran membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at, berkata :

ويُكرَهُ الجهرُ بقراءةِ "الكهف" وغيره إن حصل به تَأَذٍّ لِمُصَلٍّ أو نائم  كما صرّح النووي في كتبه  وقال شيخنا في شرح العباب: ينبغي حُرْمَةَ الجهرِ بالقراءة في المسجدِ. وحُمِلَ كلامُ النوويّ بالكراهة: على ما إذا خَفَّ التأذّي، وعلى كون القراءة في غير المسجدِ

Makruh membaca surat Al-Kahfi atau surat lainnya dengan suara keras sekira hal itu dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau sedang tidur, sebagaimana penjelasan An-Nawawi dalam kitab-kitabnya.

Dalam Syarah Al-‘Ubah, syaikhuna berkata, “Semestinya mengeraskan suara itu hukumnya haram, bila membacanya di masjid. Mungkin maksud Imam Nawawi mengatakan makruh itu bila tidak terlalu mengganggu serta membacanya bukan di masjid. [Fathul Mu’in 1/467]

 

Wallahu a’lam.

 

LARANGAN MENCUKUR RAMBUT DAN KUKU BAGI ORANG YANG BERKURBAN

 

LARANGAN MENCUKUR RAMBUT DAN KUKU BAGI ORANG YANG BERKURBAN

Oleh : Masnun Tholab

 

DALIL-DALIL

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :


وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ

“Janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya “ [Al-Baqarah : 196]

Imam Al-Qurthubi berkata :

فَقَالَ مَالِكٌالسُّنَّةُ الثَّابِتَةُ الَّتِي لَا اخْتِلَافَ فِيهَا عِنْدَنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ شَعْرِهِ حَتَّى يَنْحَرَ هَدْيَهُ

Imam Malik berkata : ”Sunnah yang shahih, yang menurut kami tidak diperselisihkan lagi, menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh mengambil rambutnya sampai dia menyembelih kurbannya” [Tafsir Al-Qurthubi 2/860]

 

Dari Ummu Salamah RA.

أن رسولَ اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم قال إذا رَأيْتُمْ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ وَأرَادَ أحَدُكُمْ أنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأظَافِرِهِ‏‏‏.

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian telah melihat hilal Dzulhijjah dan seseorang diantara kalian hendak berkurban, maka hendaklah ia menahan rambut dan kukunya (tidak memotongnya) hingga ia berkurban” (HR Muslim no. 1977)

 

وَلَفْظُ أبِي دَاوُدَ وَهُوَ لِمُسْلِمِ وَالنَّسَائِيِّ أيْضًا ‏(‏مَنْ كَاَن لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإذَا أهَلِّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَأظافِرِهِ‏‏‏ حَتَّى يُضَحِّيَ‏)‏‏.

Dalam lafadz, yang juga diriwayatkan oleh Muslim dan An-Nasa’i : “Barangsiapa yang mempunyai jewan kurban yang hendak disembelihnya, apabila telah melihat hilal Dzulhijjah, maka janganlah ia mengambil (memotong) rambut dan kukunya sehingga ia berkurban (menyembelih)” (HR Muslim no 1977)

 

PENJELASAN/ PENDAPAT ULAMA

Imam Ash-Shan’ani berkata :

مِنْ السُّنَّةِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ أَنْ لَا يَأْخُذَ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظَافِرِهِ إذَا دَخَلَ شَهْرُ ذِي الْحِجَّةِ

Termasuk sunnah bagi orang yang ingin berkurban yaitu ia tidak mengambil rambut dan kuku orang yang berkurban ketika sudah masuk bulan Dzulhijjah, sebagaimana hadits dari Ummu Salamah diatas. [Subulussalam 3, hal. 584].

 

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :

الْحَدِيثُ اُسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى مَشْرُوعِيَّة تَرْكِ أَخْذِ الشَّعْرِ وَالْأَظْفَارِ بَعْدَ دُخُولِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ . إِلِى أَنْ قَالَ : وَالْحِكْمَةُ فِي النَّهْيِ أَنْ يَبْقَى كَامِلَ الْأَجْزَاءِ لِلْعِتْقِ مِنْ النَّار

Hadits-hadits di atas  menunjukkan disyariatkannya tidak memotong rambut dan kuku setelah memasuki sepuluh hari pertama Dzulhijjah bagi yang hendak berkurban. Hikmah larangan ini adalah semua anggotanya tetap lengkap untuk membebaskan diri dari api neraka. [Nailul Author 2, hal. 653].

 

 

 

 

 

 

Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir hadits 467, berkata :

أي فَليَجْتَنِب المضحي إِزَالَة شَعْر نفسه لِيَبْقَى كامل الجزاء فَيَعْتِق كُلّه من النار.

Yakni bagi yang mau berkurban menghindari mencukur ranbutnya agar semua anggotanya tetap lengkap dan untuk membebaskan dari api neraka. [Faidhul Qadir hadits 467]

 

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:

إذَا ثَبَتَ هَذَا ، فَإِنَّهُ يَتْرُكُ قَطْعَ الشَّعْرِ وَتَقْلِيمَ الْأَظْفَارِ ، فَإِنْ فَعَلَ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ تَعَالَى .وَلَا فِدْيَةَ فِيهِ إجْمَاعًا ، سَوَاءٌ فَعَلَهُ عَمْدًا أَوْ نِسْيَانًا .

“Jika telah ditetapkan dalam beberapa riwayat, maka ia tidak boleh mencukur rambut, dan memotong kuku. Dan jika ia melakukannya maka harus bertaubat kepada Allah –Ta’ala-, namun tidak ada fidyah baik karena sengaja atau lupa, ini merupakan hasil ijma’ para ulama “. (al Mughni: 9/346)

 

Khalaf bin Sulaiman bin Sa’d dalam kitab Al-Muntaqa berkata :

وَقَدْ رَوَى الشَّيْخُ أَبُو بَكْرٍ وَالْقَاضِي أَبُو الْحَسَنِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ إِذَا رَأَى هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ أَنْ لَا يَقُصَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا يُقَلِّمَ أَظْفَارَهُ حَتَّى يُضَحِّيَ

Syeikh Abu Bakar dan Abu Al-Hasan mengatakan, sunnah bagi orang yang hendak berkurban tidak memotong kuku dan tidak mencukur rambut, apabila telah melihat hilal (sepuluh) Dzulhijjah hingga ia selesai berkurban. (Al-Muntari Syarah Al-Muwatha’ 4/1]

 

Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud dikatakan :

وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه : هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ . وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة : لَا يُكْرَه وَقَالَ مَالِك فِي رِوَايَة : لَا يُكْرَه

As-Syafi’I dan para sahabatnya berpendapat, hal itu (memotong kuku dan mencukur rambut) dimakruhkan degan makruh tanzih tidak sampai haram. Abu Hanifah berkata, tidak makruh, Malik berkata dalam satu riwayat, tidak makruh. [‘Aunul Ma’bud 6/247].

 

Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berkata :

وكُرِهَ - لِمُرِيْدِهَا - إِزَاَلُة نحو شعرٍ في عشر ذي الحِجةِ وأيامِ التشريقِ حتى يضحي.

Orang yang bermaksud berkurban makruh mencabut rambut (memotongnya) pada tanggal 10 Dzulhijjah dan hari tasyrik hingga selesai berkurbannya. [Fathul Mi’in 1, hal. 711].

 

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Sahih Muslim berkata :

قال أصحابنا وَالْمُرَاد بِالنَّهْيِ عَنْ أَخْذ الظُّفْر وَالشَّعْر النَّهْي عَنْ إِزَالَة الظُّفْر بِقَلَمٍ أَوْ كَسْر أَوْ غَيْره ، وَالْمَنْع مِنْ إِزَالَة الشَّعْر بِحَلْقٍ أَوْ تَقْصِير أَوْ نَتْف أَوْ إِحْرَاق أَوْ أَخْذه بِنَوْرَةٍ أَوْ غَيْر ذَلِكَ ، وَسَوَاء شَعْر الْإِبْط وَالشَّارِب وَالْعَانَة وَالرَّأْس ، وَغَيْر ذَلِكَ مِنْ شُعُور بَدَنه

Sahabat-sahabat kami ( As Syafi’i) berkata : Yang dikehendaki dengan larangan mengambil kuku dan rambut yaitu larangan memotong kuku atau membelah atau dengan cara lainyya, dan larangan menghilangkan rambut adalah menghilangkan rambut dengan cara cukur, memotong, mencabut, membakar, mengambilnya dengan kapur atau dengan cara yang lainnya. Apakah itu rambut ketiak, jenggot, Rambut kemaluan, Kepala dan rambut-rambut lain yang terdapat di badan.” [Syarah Shahih Muslim, hadits no. 1977]

 

Wallahu a’lam.

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH

  YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITRAH Oleh : Masnun Tholab   Hukum Zakat Fitrah Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah mengatakan bahw...