Rabu, 19 November 2025

KOTORAN HEWAN YANG HALAL DIMAKAN, SUCI?

 KOTORAN HEWAN YANG HALAL DIMAKAN, SUCI?

Oleh : Masnun Tholab

 

DALIL-DALIL

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu,

كَانَ النَّبِىُّ  صلى الله عليه وسلم  يُصَلِّى قَبْلَ أَنْ يُبْنَى الْمَسْجِدُ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ

Sebelum masjid dibangun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di kandang kambing. (HR. Bukhari 234 dan Muslim 1202).

 

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu,

قَدِمَ أُنَاسٌ مِنْ عُكْلٍ أَوْ عُرَيْنَةَ ، فَاجْتَوَوُا الْمَدِينَةَ ، فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ  صلى الله عليه وسلم  بِلِقَاحٍ ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا ، فَانْطَلَقُوا

Datang beberapa orang dari suku Ukl dan Urainah. Mereka pun sakit karena tidak kuat dengan cuaca Madinah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk datang ke peternakan onta, dan agar mereka minum air kencingnya dicampur susunya. Mereka pun berangkat dan melakukan saran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari 233, Muslim 4447 dan yang lainnya).

 

Umar bin Khattab ketika peristiwa perang Tabuk

خَرَجْنَا إِلَى تَبُوكَ فِى قَيْظٍ شَدِيدٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً أَصَابَنَا فِيهِ عَطَشٌ حَتَّى ظَنَنَا أَنَّ رِقَابَنَا سَتَنْقَطِعُ حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْحَرُ بَعِيرَهُ فَيَعْصُرُ فَرْثَهُ فَيَشْرَبُهُ فَيَجْعَلُ مَا بَقِىَ عَلَى كَبِدِهِ

Kami berangkat menuju tabuk dalam keadaan sangat serba kekurangan. Kemudian kami singgah di suatu tempat, dan kami sangat kehausan. Hingga kami menyangka leher kami akan putus. Hingga ada orang yang menyembelih ontanya, lalu dia memeras kotorannya dan meminumnya, sementara sisa perasannya ditaruh di atas perutnya. (HR. Ibnu Hibban 1383, Baihaqi dalam Sunan al-Kubro 20131, al-Bazzar dalam Musnadnya 215 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

 

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

خَرَجَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم لِحَاجَتِهِ فَقَالَ  الْتَمِسْ لِى ثَلاَثَةَ أَحْجَارٍ. قَالَ فَأَتَيْتُهُ بِحَجَرَيْنِ وَرَوْثَةٍ فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ  إِنَّهَا رِكْسٌ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pergi untuk buang hajat. Beliau pun menyuruhku,  “Carikan 3 batu untukku.” Aku pun membawakan dua batu dan satu kotoran kering. Beliau mengambil dua batu dan membuang kotoran kering itu, sambil bersabda, “Ini Najis.” (HR. Ahmad 3757, Turmudzi 17, ad-Daruquthni, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

 

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu Beliau bersabda,”Sungguh keduanya sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namiimah.” Kemudian Beliau mengambil pelepah basah. Beliau belah menjadi dua, lalu Beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Mengapa Rasul melakukan ini?” Beliau menjawab,”Semoga mereka diringankan siksaannya, selama keduanya belum kering.” (HR. Bukhari, Muslim)

 

 

PENJELASAN/PENDAPAT ULAMA

Dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhiyah Al-Mausu’ah Al-Mishriyah :

أما أبوالها، فقد قال أبو حنيفة وأبو يوسف: أنها نجسة، وقال محمد: أنها طاهرة، حتى لو وقع فى الماء القليل لَا يُفْسِدُه ويتوضأ منه ما لم يغلِب عليه ,ويقول الشافعية: كل مائعٍ خرج من أحد السبيلين نجسٌ سواء كان ذلك من حيوان مأكولِ اللحم أم لا .ويرى المالكية: أن بولَ ما يباحُ أكله طاهرٌ إذا لم يُعتد التغذى بنجسٍ، والإبلُ مباحة ُالأكلِ فبولُها طاهر ,وعند الحنابلة: بول الإبل وما يؤكل لحمُه طاهر إلا إذا كانت تأكلُ النجاسة فبولها نجس، فإن منعت من أكلها ثلاثة أيام لا تأكل فيها إلا طاهرا صار بولها طاهرا 

Adapun air kencingnya (Unta), Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat bahwa air kencingnya najis. Sedangkan Muhammad berpendapat bahwa air kencingnya suci, yakni jika air kencingnya jatuh ke dalam sedikit air, maka air itu tidak akan rusak. boleh berwudhu dengan air tesrbut, asalkan air kencingnya tidak sampai membanjiri air.

Mazhab Syafi'i menyatakan: Setiap cairan yang keluar dari salah satu dari dua lubang adalah najis, baik itu dari hewan yang halal dimakan maupun yang tidak.

Maliki berpendapat bahwa air kencing binatang yang halal dimakan adalah suci, jika binatang tersebut tidak terbiasa memakan yang najis, dan unta halal dimakan, maka air kencingnya suci.

Menurut Hanbali, air kencing unta dan daging hewan yang halal dimakan adalah suci, kecuali jika unta tersebut memakan najis, yang berarti air kencingnya najis. Jika unta tersebut dilarang memakan hewan tersebut selama tiga hari dan hanya diberi makanan yang suci, maka air kencingnya menjadi suci. [Al-Fiqhiyah Al-Mausu’ah Al-Mishriyah, 1/36]

 

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan :

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى نَجَاسَةِ بَوْلِ ابْنِ آدَمَ وَرَجِيعِهِ إِلَّا بَوْلَ الصَّبِيِّ الرَّضِيعِ، وَاخْتَلَفُوا فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْحَيَوَانِ، فَذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ إِلَى أَنَّهَا كُلَّهَا نَجِسَةٌ.

وَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى طَهَارَتِهَا بِإِطْلَاقٍ أَعْنِي فَضْلَتَيْ سَائِرِ الْحَيَوَانِ، الْبَوْلَ وَالرَّجِيعَ وَقَالَ قَوْمٌ: أَبْوَالُهَا وَأَرْوَاثُهَا تَابِعَةٌ لِلُحُومِهَا، فَمَا كَانَ مِنْهَا لُحُومُهَا مُحَرَّمَةً فَأَبْوَالُهَا وَأَرْوَاثُهَا نَجِسَةٌ مُحَرَّمَةٌ، وَمَا كَانَ مِنْهَا لُحُومُهَا مَأْكُولَةً فَأَبْوَالُهَا وَأَرْوَاثُهَا طَاهِرَةٌ، مَا عَدَا الَّتِي تَأْكُلُ النَّجَاسَةَ، وَمَا كَانَ مِنْهَا مَكْرُوهًا فَأَبْوَالُهَا، وَأَرْوَاثُهَا مَكْرُوهَةٌ، وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ كَمَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ بِذَلِكَ فِي الْأَسْآرِ.

Para ulama sepakat bahwa urine dan kotoran manusia adalah najis, kecuali urine bayi yang sedang menyusui. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai urine hewan lainnya. Al-Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa semuanya najis.

Sebagian ulama berpendapat bahwa ia suci dalam segala keadaan, artinya kotoran semua hewan, baik urin maupun kotorannya. Sebagian yang lain berpendapat: urin dan kotorannya dianggap sebagai bagian dari dagingnya. Hewan yang dagingnya haram, air seni dan kotorannya najis dan haram. Hewan yang dagingnya halal, air seni dan kotorannya suci, kecuali hewan yang memakan najis.

Dan hewan yang dagingnya makruh, maka air kencing dan kotorannya pun makruh. Demikianlah yang dikatakan Malik, sebagaimana Abu Hanifah mengatakan hal yang sama tentang sisa makanan. [Bidayatul Mujtahid, 1/87]

 

Jumat, 07 November 2025

NAJISNYA AIR LIUR ANJING

 

NAJISNYA AIR LIUR ANJING

Oleh : Masnun Tholab

www.masnuntholab.blogspot.com

Air Liur Anjing

Dari Abu Hurairah RA ia berkata,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَفِي لَفْظٍ لَهُ " فَلْيُرِقْهُ "، وَلِلتِّرْمِذِيِّ " أُخْرَاهُنَّ، أَوْ أُولَاهُنَّ

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Sucinya bejana salah seorang dari kalian yang dijilat anjing, hendaknya ia mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah. (HR. Muslim)

Dan pada lafazh lain: “Hendaklah ia menumpahkannya [HR. Muslim 279]

Dan bagi At Tirmidzi: “Yang terakhir, atau yang pertama dengan tanah.” [shahih al Jami 8116]

 

وَلأَحْمَدَ وَمُسْلِمٍ: طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ 

Dan bagi Ahmad dan Muslim (dikatakan): “Sucinya wadah salah seorang di antara kamu, apabila dijilat anjing, hendaklah dicuci tujuh kali, pertama kalinya (dicampur) dengan tanah. 

 

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :

الْحَدِيثَانِ يَدُلانِ عَلَى أَنَّهُ يُغْسَلُ الإِنَاءُ الَّذِي وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ سَبْعَ مَرَّاتٍ. إِلِى أَنْ قَالَ: وَقَدْ وَقَعَ الْخِلافُ هَلْ يَكُونُ التَّتْرِيبُ فِي الْغَسَلاتِ السَّبْعِ أَوْ خَارِجًا عَنْهَا. وَظَاهِرُ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ أَنَّهُ خَارِجٌ عَنْهَا وَهُوَ أَرْجَحُ مِنْ غَيْرِهِ. انْتَهَى.

Dua hadist (di atas) menunjukkan, bahwa bejana yang dijilat anjing, dicuci tujuh kali. Selanjutnya ia berkata: Dan telah terjadi khilaf, apakah dicampurnya dengan tanah itu di dalam (jumlah) tujuh kali, atau di luarnya. Dan menurut dlahirnya Abdullah bin Mughaffal, bahwa debu itu di luar tujuh kali, dan itulah yang lebih kuat dari lainnya. Selesai.

قَالَ فِي فَتْحِ الْبَارِي: وَرِوَايَةُ أُولاهُنَّ أَرْجَحُ مِنْ حَيْثُ الأَكْثَرِيَّةِ وَالأَحْفَظِيَّةِ، وَمِنْ حَيْثُ الْمَعْنَى أَيْضًا؛ لأَنَّ تَتْرِيبَ الْأخِرَةِ يَقْتَضِي الاحْتِيَاجَ إلَى غَسْلَةٍ آخِرَةٍ لِتَنْظِيفِهِ، وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى أَنَّ الأُولَى أَوْلَى.

Ibnu Hajar berkata di dalam Kitab Fat-hul Bari : Riwayat yang menggunakan kata uulaahunna (pertama kalinya dicampur dengan tanah), adalah lebih kuat sebab lebih banyak dan lebih mahfudz, dan juga dari segi maknanya. Karena pencampuran dengan tanah, pada kali yang terakhir menyebabkan perlunya mencucinya lagi untuk membersihkannya, dan Syafi’i telah menentukan, bahwa mencuci yang pertama dengan dicampur tanah itu adalah lebih utama.

[Bustanul Ahbar 1/24]

Imam Ash-Shan’ani dalam kitab Subulussalam berkata :

دَلَّ الْحَدِيثُ عَلَى أَحْكَامٍ:

أَوَّلُهَا : نَجَاسَةُ فَمِ الْكَلْبِ مِنْ حَيْثُ الْأَمْرِ بِالْغَسْلِ لِمَا وُلِغَ فِيهِ، وَالْإِرَاقَةِ لِلْمَاءِ، وَقَوْلُهُ: [طَهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ] فَإِنَّهُ لَا غَسْلَ إلَّا مِنْ حَدَثٍ أَوْ نَجَسٍ، وَلَيْسَ هُنَا حَدَثٌ؛ فَتَعَيَّنَ النَّجَسُ.
وَالْإِرَاقَةُ: إضَاعَةُ مَالٍ، فَلَوْ كَانَ الْمَاءُ طَاهِرًا لَمَا أَمَرَ بِإِضَاعَتِهِ، إذْ قَدْ نَهَى عَنْ إضَاعَةِ الْمَالِ،

Hadits di atas menunjukkan beberapa hukum:

Pertama: najisnya mulut anjing. Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan untuk mencuci sesuatu (bejana) yang dijilat anjing, dan menumpahkan air yang ada di dalamnya. sabda beliau “sucinya bejana salah seorang dari kalian”. maka tidak diperintahkan dicuci, kecuali dari hadats atau najis, dan di sini tidak ada hadats, berarti najis. Menumpahkannya berarti membuang-buang harta, maka seandainya air tersebut suci niscaya beliau tidak akan menyuruh menyia-nyiakannya karena membuang-buang harta terlarang.

وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي نَجَاسَةِ فَمِهِ، وَأُلْحِقَ بِهِ سَائِرُ بَدَنِهِ قِيَاسًا عَلَيْهِ، وَذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ إذَا ثَبَتَ نَجَاسَةُ لُعَابِهِ، وَلُعَابُهُ جُزْءٌ مِنْ فَمِهِ، إذْ هُوَ عِرْقُ فَمِهِ، فَفَمُهُ نَجِسٌ،  إذْ الْعِرْقُ جُزْءٌ مُتَحَلِّبٌ مِنْ الْبَدَنِ، فَكَذَلِكَ بَقِيَّةُ بَدَنِهِ،

Secara zhahir, hadits itu menunjukkan bahwa mulut anjing itu najis dan badannya dihukumi sama dengan mengqiyaskannya. Karena jika telah jelas bahwa ludahnya najis, ludahnya adalah bagian dari mulutnya, dan ludah adalah peluh mulutnya serta peluh adalah bagian yang keluar dari badan, maka demikian pula semua badannya.

الْحُكْمُ الثَّانِي: أَنَّهُ دَلَّ الْحَدِيثُ عَلَى وُجُوبِ سَبْعِ غَسَلَاتٍ لِلْإِنَاءِ، وَهُوَ وَاضِحٌ، وَمَنْ قَالَ: لَا تَجِبُ السَّبْعُ، بَلْ وُلُوغُ الْكَلْبِ كَغَيْرِهِ مِنْ النَّجَاسَاتِ وَالتَّسْبِيعُ نَدْبٌ، اسْتَدَلَّ عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّ رَاوِيَ الْحَدِيثِ وَهُوَ أَبُو هُرَيْرَةَ  قَالَ: يُغْسَلُ مِنْ وُلُوغِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ،

Kedua: bahwa hadits tersebut menunjukkan kewajiban mencuci tujuh kali pada bejana, dan hal itu sudah jelas. Yang mengatakan tidak wajib tujuh kali, tetapi jilatan anjing sama dengan najis-najis lainnya, dan tujuh kali hanyalah Sunnah, hal itu berdasarkan dalil bahwa perawi hadits yaitu Abu Hurairah RA berkata, “jilatan anjing dicuci tiga kali,

وَأُجِيبَ عَنْ هَذَا، بِأَنَّ الْعَمَلَ بِمَا رَوَاهُ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَا بِمَا رَآهُ وَأَفْتَى بِهِ، وَبِأَنَّهُ مُعَارَضٌ بِمَا رُوِيَ عَنْهُ، وَأَيْضًا: أَنَّهُ أَفْتَى بِالْغَسْلِ، وَهِيَ أَرْجَحُ سَنَدًا، وَتَرَجَّحَ أَيْضًا بِأَنَّهَا تُوَافِقُ الرِّوَايَةَ الْمَرْفُوعَةَ،

Pendapat ini dapat dijawab, bahwa yang diamalkan adalah yang diriwayatkan dari Nabi صلى الله عليه وسلم bukan menurut pendapatnya dan yang ia fatwakan. Juga karena bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan darinya, bahwa ia memfatwakan dengan mencuci tujuh kali, dan ini lebih kuat sanadnya, dan juga menjadi lebih kuat karena sesuai dengan riwayat marfu.

.الْحُكْمُ الثَّالِثُ: وُجُوبُ التَّتْرِيبِ لِلْإِنَاءِ لِثُبُوتِهِ فِي الْحَدِيثِ، ثُمَّ الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى تَعَيُّنِ التُّرَابِ، وَأَنَّهُ فِي الْغَسْلَةِ الْأُولَى؛ وَمَنْ أَوْجَبَهُ قَالَ: لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَخْلِطَ الْمَاءَ بِالتُّرَابِ حَتَّى يَتَكَدَّرَ، أَوْ يَطْرَحَ الْمَاءَ عَلَى التُّرَابِ، أَوْ يَطْرَحَ التُّرَابَ عَلَى الْمَاءِ، وَبَعْضُ مَنْ قَالَ بِإِيجَابِ التَّسْبِيعِ، قَالَ: لَا تَجِبُ غَسْلَةُ التُّرَابِ لِعَدَمِ ثُبُوتِهَا عِنْدَهُ. وَرَدَّ: بِأَنَّهَا قَدْ ثَبَتَتْ فِي الرِّوَايَةِ الصَّحِيحَةِ بِلَا رَيْبٍ، وَالزِّيَادَةُ مِنْ الثِّقَةِ مَقْبُولَةٌ،

Ketiga: wajib mencuci bejana dengan debu sebagaimana telah ditegaskan dalam hadits. Kemudian hadits tersebut menunjukkan ditentukannya tanah, dan digunakan pada cucian yang pertama. ulama yang mewajibkannya berkata, “Tidak ada perbedaan antara mencampur air dengan tanah hingga keruh, atau air disiramkan atas tanah, atau tanah dimasukkan ke dalam air.” Bagi mereka yang berpendapat wajibnya mencuci tujuh kali berkata, “Tidak wajib mencuci dengan tanah, lantaran hal itu tidak kuat menurutnya.” Dapat dijawab, bahwa telah ditegaskan dalam riwayat yang shahih tanpa keraguan dan tambahan dari perawi tsiqah dapat diterima. [Subulussalam 1/49].

 

Imam Nawawi dalam kitab Rhaudhatuth Thalibin berkata :

وَلَوْ وَلَغَ فِي مَاءٍ لَمْ يَنْقُصْ بِوُلُوغِهِ عَنْ قُلَّتَيْنِ، فَهُوَ بَاقٍ عَلَى طَهُورِيَّتِهِ، وَلَا يَجِبُ غَسْلُ الْإِنَاءِ. وَلَوْ وَلَغَ فِي شَيْءٍ نَجَّسَهُ، فَأَصَابَ ذَلِكَ الشَّيْءُ آخَرَ، وَجَبَ غَسْلُهُ سَبْعًا. وَلَوْ وَلَغَ فِي طَعَامٍ جَامِدٍ، أَلْقَى مَا أَصَابَهُ وَمَا حَوْلَهُ، وَبَقِيَ الْبَاقِي عَلَى طَهَارَتِهِ،

Jika anjing menjilat air yang dengan jilatannya tidak menguranginya dari dua qullah, maka air ini tetap suci menyucikan dan tidak wajib membasuh wadahnya. Jika anjing menjilati sesuatu lalu sesuatu itu mengenai sesuatu yang lain, maka yang lain ini juga wajib dibasuh tujuh kali. Jika anjing menjilat makanan padat, maka bekas jilatan dan sekitarnya dibuang sementara yang lain masih tetap suci. [Rhaudhatuth Thalibin 1/165]. Wallahu a’lam.

 

 

Hukum Air Liur Babi

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :

Ais sisa minuman anjing dan babi adalah najis yang harus dijauhi. Mengenai hukum najis sisa minum anjing ialah berdasarkan hadits yang diriwayatkan Bukhari – Muslim dari Abu Hurairah. (Hadits di atas) [Fiqih Sunnah 1/19].

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :

فَقُلْنَا فِي الْكَلْبِ بِمَا أَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَكَانَ الْخِنْزِيرُ إنْ لَمْ يَكُنْ فِي شَرٍّ مِنْ حَالِهِ لَمْ يَكُنْ فِي خَيْرٍ مِنْهَا فَقُلْنَا بِهِ قِيَاسًا عَلَيْهِ

Kami katakan bahwa hukum anjing adalah najis, berdasar kepada sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Sedangkan babi tidak lebih buruk keadaannya daripada anjing, dan tidak pula lebih baik,  maka kami mengatakan hukumnya sama, karena dianalogikan (diqiaskan) dengan anjing. [Al-Umm 1/16]

 

Wallahu a’lam.

TAWASSUL DENGAN AMAL SHALEH

 

TAWASSUL DENGAN AMAL SHALEH

Oleh : Masnun Tholab

 

Pengertian Tawassul

Majduddin Abu Sa’adat al-Mubarak Muhammad al-Jazry (Ibnul Atsir) berkata :

al-Wasilah secara bahasa (etimologi) berarti segala hal yang dapat menggapai sesuatu atau dapat mendekatkan kepada sesuatu. [an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts wal Atsar (V/185)]


Firman Alloh Subhanahu wata’ala (QS. Al-Ma’idah:35).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh. Dan carilah perantara untuk sampai kepadaNya. Berjihadlah kamu di jalan-Nya mudah-mudahan kamu dapat keuntungan.” (QS. Al-Ma’idah:35).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan :

قال سفيان الثوري، عَنْ طَلْحَةَ عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍأي القربة، وكذا قال مجاهد وَأَبُو وَائِلٍ وَالْحَسَنُ وَقَتَادَةُ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَثِيرٍ وَالسُّدِّيُّ وابن زيد وغير واحدوَقَالَ قَتَادَةُأَيْ تَقَرَّبُوا إِلَيْهِ بِطَاعَتِهِ وَالْعَمَلِ بِمَا يُرْضِيهِ

Sufyan Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Thalhah, dari Atha’, dari Ibnu Abbas,  bahwa yang dimaksud dengan al-washilah di dini adalah qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala. Demikian juga yang dikatakan oleh  Mujahid, Abu Wa’il, Hasan, Qatadah, Abdullah bin Katsir, As-Suddi, Ibnu Zaid, dan lain-lain.Qatadah berkata : makna yang dimaksud, “Dekatkanlah diri kalian kepadaNya dengan ta’at kepadaNya, dan hal-hal yang diridhoiNya”

 

Bertawassul Dengan Amal Shaleh

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 “Ada tiga orang dari orang-orang sebelum kalian berangkat bepergian. Suatu saat mereka terpaksa mereka mampir bermalam di suatu goa kemudian mereka pun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu dan mereka di dalamnya. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka semua dari batu besar tersebut kecuali jika mereka semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan amalan baik mereka.” Salah seorang dari mereka berkata,

اللَّهُمَّ كَانَ لِى أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ ، وَكُنْتُ لاَ أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلاً وَلاَ مَالاً ، فَنَأَى بِى فِى طَلَبِ شَىْءٍ يَوْمًا ، فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا ، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلاً أَوْ مَالاً ، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَىَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ

 “Ya Allah, aku mempunyai dua orang tua yang sudah sepuh dan lanjut usia. Dan aku tidak pernah memberi minum susu (di malam hari) kepada siapa pun sebelum memberi minum kepada keduanya. Aku lebih mendahulukan mereka berdua daripada keluarga dan budakku (hartaku). Kemudian pada suatu hari, aku mencari kayu di tempat yang jauh. Ketika aku pulang ternyata mereka berdua telah terlelap tidur. Aku pun memerah susu dan aku dapati mereka sudah tertidur pulas. Aku pun enggan memberikan minuman tersebut kepada keluarga atau pun budakku. Seterusnya aku menunggu hingga mereka bangun dan ternyata mereka barulah bangun ketika Shubuh, dan gelas minuman itu masih terus di tanganku. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka meminum minuman tersebut.

Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar  mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka sedikit, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa.

 

وَقَالَ الآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ لِى بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَىَّ ، فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا ، فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ ، فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ، فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لاَ أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ . فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهْىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَىَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى أَعْطَيْتُهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ ، غَيْرَ أَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا

lantas orang yang lain pun berdo’a, “Ya Allah, dahulu ada puteri pamanku yang aku sangat menyukainya. Aku pun sangat menginginkannya. Namun ia menolak cintaku. Hingga berlalu beberapa tahun, ia mendatangiku (karena sedang butuh uang). Aku pun memberinya 120 dinar. Namun pemberian itu dengan syarat ia mau tidur denganku (alias: berzina). Ia pun mau. Sampai ketika aku ingin menyetubuhinya, keluarlah dari lisannya, “Tidak halal bagimu membuka cincin kecuali dengan cara yang benar (maksudnya: barulah halal dengan nikah, bukan zina).” Aku pun langsung tercengang kaget dan pergi meninggalkannya padahal dialah yang paling kucintai. Aku pun meninggalkan emas (dinar) yang telah kuberikan untuknya. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini.” Batu besar itu tiba-tiba terbuka lagi, namun mereka masih belum dapat keluar dari goa.

وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّى اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ، غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ ، فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَىَّ أَجْرِى . فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ . فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ تَسْتَهْزِئْ بِى . فَقُلْتُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ بِكَ . فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ . فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ »

lantas orang ketiga berdo’a, “Ya Allah, aku dahulu pernah mempekerjakan beberapa pegawai lantas aku memberikan gaji pada mereka. Namun ada satu yang tertinggal yang tidak aku beri. Malah uangnya aku kembangkan hingga menjadi harta melimpah. Suatu saat ia pun mendatangiku. Ia pun berkata padaku, “Wahai hamba Allah, bagaimana dengan upahku yang dulu?” Aku pun berkata padanya bahwa setiap yang ia lihat itulah hasil upahnya dahulu (yang telah dikembangkan), yaitu ada unta, sapi, kambing dan budak. Ia pun berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah engkau bercanda.” Aku pun menjawab bahwa aku tidak sedang bercanda padanya. Aku lantas mengambil semua harta tersebut dan menyerahkan padanya tanpa tersisa sedikit pun. Ya Allah, jikalau aku mengerjakan sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutupi kami ini”. Lantas goa yang tertutup sebelumnya pun terbuka, mereka keluar dan berjalan. (HR. Bukhari no. 2272 dan Muslim no. 2743)

 

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berkata : Kisah di atas menunjukkan bahwa kita dapat bertawassul kepada Allah dalam berdo’a dengan perantaraan amal shaleh kita yang kita lakukan. Dan hal tersebut sudah menjadi kesepakatan ulama.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Melakukan ketaatan memudahkan terkabulnya do’a. Oleh karenanya pada kisah diatas, batu besar yang menutupi mereka menjadi terbuka karena sebab amalan yang mereka sebut. Di mana mereka melakukan amalan tersebut ikhlas karena Allah Ta’ala. Mereka berdo’a pada Allah dengan menyebut amalan sholeh tersebut sehingga doa mereka pun terkabul.” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 275-276)

Wallahu a’lam.

Selasa, 04 November 2025

SHALAT ISTIKHARAH

 

SHALAT ISTIKHARAH

Oleh : Masnun Tholab

 

Manfaat Shalat Istikharah

Shalat istikharah sangat penting untuk dilakukan karena pilihan manusia acapkali bersifat subjektif dan terkadang tak terlepas dari dorongan nafsu. Dapat dipahami jika manusia kadang membenci sesuatu yang baik dan sebaliknya mencintai sesuatu yang buruk. Dalam hal ini, al-Qur an mensitirnya dalam surat Al-Baqarah ayat 216:

وعسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم وعسى أن تحبوا شيئا وهو شر لكم والله يعلم وأنتم لا تعلمون

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia sangat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetauhi, sedangkan kamu tidak mengetauhi”.

Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi mengutip perkataan Al-Hasan tentang pengertian ayat ini :

لَا تَكْرَهُوا الْمُلِمَّاتِ الْوَاقِعَةَ، فَلَرُبَّ أَمْرٍ تَكْرَهُهُ فِيهِ نَجَاتُكَ، وَلَرُبَّ أَمْرٍ تُحِبُّهُ فِيهِ عَطَبُكَ

Janganlah kalian membenci penderitaan yang terjadi, sebab berapa banyak perkara yang engkau benci, namun disitulah keselamatanmu. Berapa banyak perkara yang engkau sukai, namun justru disitulah kehancuranmu” [Tafsir Al-Qurthubi 3, hal. 91].

 

Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu, sebagaimana mengajari surah Al-Quran. Beliau bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua rakaat, kemudian bacalah doa ini:  

 اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ ... خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepadaMu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu Yang Maha Agung, sesungguhnya Engkau Mahakuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya dan Engkau adalah Maha Mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini ……. lebih baik dalam agamaku, dan akibatnya terhadap diriku atau di dunia atau akhirat sukseskanlah untukku, mudahkan jalannya, kemudian berilah berkah. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih berbahaya bagiku dalam agama, perekonomian dan akibatnya kepada diriku, maka singkirkan persoalan tersebut, dan jauhkan aku daripadanya, takdirkan kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaanMu kepadaku.” [HR. Al-Bukhari 7/162]

 

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berkata :

قال العلماء‏:‏ تستحبّ الاستخارة بالصلاة والدعاء المذكور، وتكون الصلاة ركعتين من النافلة،

Para ulama berkata : Dianjurkan istikharah dengan shalat dan doa tersebut. Shalat itu berjumlah dua rekaat sebagai shalat nafilah. [Al-Adzkar , hal. 206]

 

 

 

 

 

 

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan :

ثم إن الاستخارة مستحبّة في جميع الأمور كما صرَّح به نصُّ هذا الحديث الصحيح، وإذا استخار مضى بعدها لما ينشرحُ له صدره‏.‏ واللّه أعلم

“Perlu diketahu bahwa istikharoh itu dianjurkan dalam segala urusan, sebagaimana dijelaskan oleh nash dan hadits yang sahih itu. Apabila selesai beristikharah, iapun melakukan apa yang melapangkan dadanya. [Al-Adzkar , hal. 206]

 

Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar berkata :

Ucapan perawi (segala perkara) menunjukkan keumuman, dan bahwa seseorang itu tidak boleh menyepelekan atau tidak mempedulikan suatu perkara karena kecilnya perkara tersebut sehingga tidak beristikharah. Tidak sedikit perkara yang dianggap remeh ternyata di kemudian hari melahirkan bencana karena tidak dipedulikan. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لِيَسْتَلْ اَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَتَّى فىِ شَسَعِ نَعْلِهِ

“Hendaklah salah seorang di antara kamu meminta kepada TuhanNya, sampaipun dalam persoalan tali terompahnya” [Shahih Ibnu Hibban, no. 866; Sab’ul Iman lil Baihaqi, no. 1079]

Hadits di atas tadi menunjukkan disyari’atkannya shalat istikharah dan memanjatkan do’a tersebut setelahnya. [Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Authar 1/668].

 

Waktu Pelaksanaan

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berkata :

قال العلماء‏:‏ تستحبّ الاستخارة بالصلاة والدعاء المذكور، وتكون الصلاة ركعتين من النافلة، والظاهر أنها تحصل بركعتين من السنن الرواتب، وبتحية المسجد وغيرها من النوافل؛

Para ulama berkata : Dianjurkan istikharah dengan shalat dan doa tersebut. Shalat itu berjumlah dua rekaat sebagai shalat nafilah. Yang jelas, ia bisa dilakukan dengan dua rekaat sunnah rawatib atau takhiyatul masjid atau shalat sunnah lainnya. [Al-Adzkar , hal. 206]

 

Sayyid Sabbiq dalam kitab Fiqih Sunnah  berkata tentang shalat Istikharah :

ولو كانتا من السنن الراتبة أو تحية المسجد في أي وقت من الليل أو النهار

Shalat Istikharah boleh dilakukan ketika mengerjakan shalat sunnah rawatib atau tahiyatul masjid, atau boleh pula dilakukan pada waktu malam atau siang. [Fikih Sunnah 1, hal. 304].

 

Dalam kitab Raudhatuth Thalibin, Imam Nawawi berkata :

وَلَوْ صَلَّى الدَّاخِلُ فَرِيضَةً، أَوْ وِرْدًا، أَوْ سُنَّةً، وَنَوَى التَّحِيَّةَ مَعَهَا، حَصَلَا جَمِيعًا. وَكَذَا إِنْ لَمْ يَنْوِهَا

Jika seseorang masuk ke dalam masjid untuk melaksanakan shalat fardhu, atau melaksanakan shalau sunnah lainnya dan dia berniat dengan Tahiyatul Masjid sekaligus, maka berhasil penggabungan niatnya. Begitu juga jika dia tidak meniatkan untuk shalat Tahiyatul Masjid.   [Raudhatuth Thalibin 1/311 (1/675)]

 

Surat Yang Dibaca

Imam Nawawi berkata :

ويقرأ في الأولى بعد الفاتحة‏:‏ قل يا أيّها الكافرون، وفي الثانية‏:‏ قل هو اللّه أحد؛ ولو تعذرت عليه الصلاة استخار بالدعاء‏.‏

Dalam rekaat pertama sesudah surah Al-Fatihah, dibaca surat Al-Kafirun. Dalam rekaat kedua membaca surat Al-Ikhlas. Andaikata berhalangan melakukan shalat, maka istikharah dilakukan dengan berdoa. [Al-Adzkar , hal. 206; Ihya Ulumiddin 1, hal. 679]

 

Do’a Shalat Istikharah

Lihat hadits di atas!

 

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berkata:

وروينا في كتاب ابن السني، عن أنس رضي اللّه عنه قال‏:‏ قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم‏:‏ ‏"‏يا أنَسُ، إذَا هَمَمْتَ بِأمْرٍ فاسْتَخِرْ رَبَّكَ فيهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ انْظُرْ إلى الَّذي سَبَقَ إلى قَلْبِكَ، فإنَّ الخَيْرَ فِيهِ‏"‏

Diriwayatkan dalam kitab Ibnu Sunni, dari Anas RA, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan kepadanya,

“Hai Anas, jika engkau ingin melakukan sesuatu, maka mintalah pilihan kepada tuhannu tujuh kali, kemudian koreksilah kedalam hatimu, mana yang lebih mantap, karena sesungguhnya kebaikan terdapat di situ” [Al-Adzkar , hal. 206]

KOTORAN HEWAN YANG HALAL DIMAKAN, SUCI?

  KOTORAN HEWAN YANG HALAL DIMAKAN, SUCI? Oleh : Masnun Tholab   DALIL-DALIL Anas bin Malik  Radhiyallahu ‘anhu, كَانَ النَّبِىُّ ...